Sabtu, Agustus 07, 2010

MENGENAL HUKUM KEPABEAN HINGGA REKONSTRUKSI SISTEMNYA

Judul Buku : Rekonstruksi Sistem Hukum Pabean Indonesia
Penerbit : Penerbit Erlangga
Penulis : Eddhie Sutarto
Tebal : xi + 122 halaman , 25 cm;17,5 cm
Cetakan : 2010



Membahas sistem hukum kepabean rupanya hal yang sangat jarang sekali dilakukan dengan pendekatan ilmu hukum. Jika mendengar kata kepabean, pasti tak jauh pikiran kita tentang kerumitan perpajakan dan percukaian pula. Buku ini berpengantar dengan pola dasar hukum sendiri dan sejarah perkembangan hukum kepabean di Indonesia. Bagaimana reformasi sistem kepabean bisa tercipta serta perbandingannya dengan masa-masa VOC hingga masa reformasi. Menarik apabila kita mendapati berbagai aturan mengenai kepabean karena yang mengatur tidak hanya ranah negara (nasional) namun juga ranah internasional. Ini jelas bisa menjadi ketentuan pembanding dengan sistem di luar negeri. Menarik pula karena di akhir buku ini ditambahkan dengan rumus penghitungan bea masuk, bea keluar, serta klasifikasi barang untuk menentukan bea barang (HS Convetion, hal 71).
Rekonstruksi dipahami dengan mengganti sebagian sistem, lain halnya dengan dekonstruksi, yang mengganti semuanya. Pergantian sebagian sistem ini didasarkan pada subsistem-subsistem yang tidak selaras dengan semangat kemerdekaan dan semangat reformasi sehingga kekurangan itu diganti dengan subsistem yang menunjang penyelenggaraan pemerintah menuju masyarakat adil dan makmur. Paling tidak mampu ‘meratifikasi’ produk hukum internasional yang telah disepakati. Itu salah satu harapan penulis terhadap rekonstruksi kepabean di Indonesia.
Asas self assesmest yang cukup terkenal bagi pemerhati hukum kepabean tertuang dalam buku ini, asas penetapan sendiri ini masih diterapkan dalam masyarakat kita karena patokan yang digunakan adalah “customs control have therefore been devised on the basic hypothesis that all people are dishonest”- hal ini tertuang dalam Colombus Declarations-. Cukup menunjang prinsip pengawasan bahwa semua barang yang masuk ke daerah kepabean harus diawasi oleh instansi kepabean.
Secara umum buku ini cukup baik menambah kekayaan pengetahuan mengenai kepabean, pajak, dan cukai bagi semua kalangan. Sangat disayangkan setelah penulis memperinci tentang hukum beracara, yaitu seperti tertuang di peraturan mengenai tata cara sita, tata cara pengajuan keberatan atau eksekusi putusan justru tidak memperinci ketentuan (peraturan) yang sedang berlaku saat ini. Jika mau berbicara acara pidana misalnya, proses penyidikan juga sedikit membingungkan pembaca karena adanya proses penangkapan dan penahanan langsung di dalam penyidikan. Beralih ke proses eksekusi, ternyata juga dirasa kurang begitu memuaskan karena perturan yang dipakai tidak tertera dalam paragraf ini (hal. 133). Juga mengenai upaya hukum yang dicapai jika subjek hukum hendak mengajukan. Kita tahu bahwa Penijauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum terakhir yang diajukan, namun tidak demikian di dalam buku ini, Peninjauan Kembali hanya dijelaskan dalam bab Pengadilan Pajak, tidak dalam upaya hukum.
Ada baiknya jika hendak mengulas mengenai proses beracara ini dilakukan dalam buku tersendiri dan tentunya harus lebih jelas dengan hukum positiv saat ini. Sebagai buku referensi penunjang (teori), buku ini sudah cukup baik dan bisa dimiliki oleh semua kalangan khususnya pemerhati sistem kepabean di Indonesia. Selamat membaca!

IKLAN, HARUSKAH SELALU BEROBJEK PEREMPUAN?

Bukan tak mungkin berbicara mengenai perempuan sebagai objek komoditi pasar, karena memang seperti itulah keadaan yang terjadi pada perempuan kita. Media yang seharusnya berperan sebagai ruang penyalur citra justru menjadi wadah bagi para pengusaha dan persaingan pasar global yang menjadikan perempuan sebagai sumber penghasilan. Berangkat dari kenyataan sepertri iklan yang ditampilkan kepada masyarakat sebagai penikmat media, ditemui dan dapat dipastikan bahwa iklan tak jauh dari peran perempuan di dalamnya. Selalu ada sosok perempuan yang ditampilkan dalam sebuah iklan. Seolah-olah, jika tanpa perempuan, iklan dianggap tak menarik, ada sesuatu yang kurang dalam sebuah cerita iklan, seakan akan (atau lebih tepat, pada kenyataannya) tubuh perempuan dijadikan magnet besar dalam pasar.

Konstruksi masyarakat terhadap sesuatu jelas mempengaruhi media massa, di sini media yang dimaksud ialah iklan. Demikian halnya jika iklan dianggap sebagai alat yang sangat berpengaruh di media massa, maka pernyataan Agus Maladi Irianto (Suara Merdeka edisi Minggu 16 Mei 2010 Hal. 19 Bianglala, LATAR) yang menyatakan bahwa audience hanya menelan apa saja yang disajikan media bisa kita rekonstruksi. Iklan merupakan salah satu unsur pembentuk (konstruksi) masyarakat kita. Jika iklan dianggap seolah-olah muncul tanpa ada maksud dan tujuan, itu jelas kurang tepat. Justru kita sadari bahwa bisa munculnya iklan itu jelas karena ada ‘sesuatu’ di dalamnya. ‘Sesuatu’ ini berasal dari konstruksi yang hidup dalam masyarakat tersebut. Mempertegas alasan bahwa masyarakat kita tidak buta terhadap konstruksi yang ada di tengah-tengah mereka. Jadi, apabila ketidakpedulian audience kita terhadap apa saja yang disajikan media ini hanya akan terjadi pada sebagian masyarakat kita, tidak semuanya mayarakat itu buta terhadap apa yang disajikan media.

Kembali pada persoalan semula, jika perempuan dan iklan “yang tak mungkin tanpa maksud dan tujuan” tetap berlanjut pada era ini, maka anggapan masyarakat tentang perempuan akan semakin redup. Banyak sekali model iklan perempuan yang justru kurang mengangkat kodratnya, bahkan cenerung melecehkan dirinya sendiri karena hanya bermodalkan tubuh-tubuhnya tersebut. Perempuan dalam iklan selalu identik dengan cantik, molek, berkulit putih, berambut panjang dan hitam, bajunya indah, dan sebagainya. Iklan menjejalkan media yang kiranya merupakan angan-angan kita terhadap seuatu yang indah, bagus, menarik, sempurna! Namun kadang iklan lupa menampilkan sosok perempuan yang jelek, kotor, buruk, menyedihkan, hingga terpuruk. Iklan semakin menjadi media yang tidak peka terhadap situasi sosial dan riil dalam masyarakat kita. Masyarakat dibentuk oleh konstruksi tubuh indah tadi, sehingga anggapan terhadap –yang buruk- ini disingkirkan. Hal ini tak hanya bisa membutakan mata kita dengan lingkungan kita tapi juga membutakan mata hati kita terhadap pembodohan yang terjadi pada diri kita sendiri. Kita akan semakin tak menyadari bahwa kita ini sedang di bawa ke mana oleh media massa.

Iklan yang dibuat pasti memiliki tujuan dan maksud. Jangan hanya berobjekkan perempuan, karena perempuan yang tertera dalam media massa ini tak selalu dan tak selamanya “indah” seperti kelihatannya. Masih banyak persoalan perempuan di negeri ini yang bisa diangkat menjadi iklan atau menjadi bahan pembicaraan media massa. Tentu tujuannya terarah pada penyetaraan gender, misalnya. Iklan tidak hanya untuk mempromosikan pasar, tapi bisa dimanfaatkan untuk proses sosialisai, pencegahan, pengurangan, pengumuman, dan masih banyak lagi. Janganlah hanya sekedar menjadikan perempuan sebagai objek komoditi pasar.

SOBATKU

Sobat,
Maafkan aku, aku tidak menjadi sobatmu yang kuat.
Yang hebat, yang tegar seperti apa yang kau katakan pada semua orang mengenai aku.
Aku hanyalah manusia biasa yang punya banyak kekurangan.
Tak sempurna.
Tak bisa bangkit dari kerapuhan yang sementara ini.
Aku tahu ini hanya sementara, tapi luka ini tak akan bisa hilang meskipun aku berulang mencobanya.
Maafkan aku sobat, tak bisa menjadi contoh untuk dirimu. Membuatmu bingung dengan segala racu ku.
Bukan maksudku membuatku tak paham, tapi hal yang sedang kualami memang tak bisa kupahami.

Birokrasi yang tengah terjadi hampir menjadi taraf politik.
Begitu mengerikan. Aku sangat takut tehadap penyakit ini. Aku tak mau kau atau siapapun menjadi korban seperti aku. Jangan sampai karya tunas bangsa tersendat hanya karena birokrasi.
Sekarang, penyakit ini mewabah, bahkan menular ke setiap jengkal jalan kita ke mana kita melangkah.
Hati-hati sobat, kepentingan yang dipaksakan kadang menjadi politik yang buta.
Buta nurani, seperti yang kukatakan beberapa saat yang lalu. Institusi nurani kita telah jebol. Jebol entah kemana!

Hal ini sungguh menyakitiku, aku merasa bahwa ternyata menunjukkan yang terbaik sama sekali tak berguna bagi siapapun. Tapi ingat, tunjukkan yang terbaik pada dirimu sendiri. Itu kata-kataku yang selalu aku selipkan dalam tiap tidurku. Ingat sobatku, jangan berhenti berkaya, karena nantinya kita akan mendobrak dan menginjak birokrasi macam ini. Jangan pernah takut untuk melawan karena kita memang benar. Tunjukkan sobat! Tunjukkan kalau kita mampu!

Kau selalu berkata, bukankah ketaksempurnaan adalah bagian dari persahabatan. Sobat, katakan padaku apa itu ketaksempurnaan. Bagaimana kita bisa menentukan dan menilai ketaksempurnaan? Bagaimana sempurna itu? O, bukan. Salah pertanyaanku. Harusnya aku bertanya padamu, bagaimana aku mencapai kesempurnaan di mata mereka para birokrat busuk ini?
Birokrat dengan uang yang ada di otaknya, tak ada ruang kosong selain uang dan ketenaran yang hendak dicari. Melupakan kewajibannya, yang seharusnya dan HARUS dijalankan karena ini amanah. Aku jadi ingat ternyata jika kita bicara kepedulian, rupanya hidup menjadi seperti ini karena tak ada kepedulian. Aku ingat sekarang. Kepedulian terhadap sesama, itulah kenapa Junghun muda itu crossboy. Ia menganggap tuhan itu alam. Alam dan sesama. Ketika ia mencintai alam dan sesamanya, berarti ia mencintai tuhan. Memang ini kejawen sekali. Tapi menurutku, hal yang dianutnya ini benar. Karena memang mempresentasikan keberadaan tuhan itu bisa melalui sesama kita. Alam, lingkungan sekitar kita.
Jika tanpa ada rasa peduli, mungkinkah seseorang bisa tersakiti?
Mungkin memang benar aku yang salah. Tak bisa memahami orang-orang yang tak peduli ini.
Maafkan aku sobat. Maafkan sobatmu ini.
Sobat yang tidak bisa memahami para birokrat di negeri kita.